Foto: Puji Sumedi
|
Petani
garam Kolidatang desa Kolaka masih menerapkan cara tradisional dalam mengolah
garam dari air laut. Hal tersebut diungkapkan salah satu pemerhati usaha
rakyat, Puji Sumedi dalam cuitannya di medsos ketika mengunjungi desa tersebut
pada Rabu (11/07/2018).
"Saya
bertemu Mama Petronela, salah satu petani garam rebus di kampung Kolidatang
Desa Kolaka kecamatan Tanjung Bunga," demikian ungkap Puji. Informasi yang
ia peroleh menyebutkan, para petani garam tradisional tersebut sudah menekuni
usaha tersebut selama kurang lebih tiga bulan di tahun 2018 ini.
"Usaha
garam dilakukan selama musim kemarau dari bulan April hingga Oktober. Ada
sekitar tigapuluh orang perempuan yang memanfaatkan musim kemarau tersebut
dengan beralih profesi menjadi petani garam rebus di pantai," demikian
tutur Puji.
Puji
selanjutnya menceritakan bahwa di sekitar lokasi usaha garam rebus ini, pohon
mangrove tampak tumbuh dengan daun yang lebat. Tidak ada bekas pangkasan pada
pohon tersebut. Ini menandakan bahwa pohon mangrove tersebut tidak dimanfaatkan
sebagai kayu bakar.
"Mangrove
tak boleh di tebang. Kalau ditebang, nanti air laut pasang bisa masuk ke
darat," demikian ungkap Petronela, salah satu petani garam. Untuk
menyiasati kebutuhan untuk bahan merebus garam, para petani garam hanya
menggunakan ranting kayu lain atau menggunakan pelepah kelapa sebagai bahan
bakar.
Menurut
tradisi setempat, musim garam dibuka dengan upacara adat buka garam. Sementara
serimonial tutup musim garam berlangsung pada bulan Oktober. Setelah bulan
Oktober, mereka kembali menjadi petani ladang dengan bercocok tanam.
Dalam
sehari, setiap petani garam bisa memproduksi sekitar 9 hingga 10 sokal garam.
Sokal merupakan kemasan sekaligus alat takaran dari anyaman daun lontar yang
dipakai sebagai tempat garam. Berat garam per sokal bisa mencapai 1,5 kg. Garam
sebanyak itu dihargai 10 ribu per sokalnya.
Selain
memanfaatkan sebagai kemasan garam, daun lontar pun dipakai sebagai bahan
filter atau penyaring penyaring untuk memisahkan garam padat dari air. (Teks:
Puji Sumedi, Edit: Simpet)
Foto: Puji Sumedi
|
Foto: Puji Sumedi
|
Foto: Puji Sumedi
|